Semarangkita.id – Peristiwa siklon tropis yang melanda Sumatera tidak dapat dilepaskan dari hilangnya sekitar 1,4 juta hektare hutan tropis yang dialihfungsikan menjadi kawasan pertambangan maupun perkebunan sawit. Perubahan tutupan lahan ini mengakibatkan rusaknya fungsi hidrologis hutan, sehingga kemampuan tanah dalam menyerap air menurun drastis dan memicu aliran permukaan yang bersifat destruktif.
Dampak bencana ini sangat besar. BNPB melaporkan jumlah korban meninggal dunia akibat banjir dan longsor di Aceh, Sumatera Utara, serta Sumatera Barat bertambah menjadi 1.053 jiwa, sementara itu 200 Jiwa Hilang dan 606.04o mengungsi berdasarkan data yang diakses (17/12/2025) pukul 08.00 WIB.
“Data per tanggal 16 Desember 2025, total korban meninggal dunia akibat bencana banjit dan longsor di tiga Provinsi itu sebanyak 1053 jiwa,”kata Kepala Pusata data dan Informasi BNPB, Abdul Muhari dalam jumpa pers yang disiarkan Youtube BNPB, Selasa (16/12).
Muhari menyampaikan total korban meninggal dunia bertambah 23 jiwa dari sebelumnya. Di Aceh Tamiang ditemukan 17 korban tewas, di Aceh Utara ada 1 korban tewas, dan 5 korban tewas di Tapanuli Tengah.
Muhari merinci bahwa secara akumulasi terdapat 449 korban tewas berasal dari Aceh, 360 jiwa dari Sumatera Utara, dan 244 jiwa dari sumatera Barat.
Di media sosial banyak beredar ribuan kayu gelondongan yang terbawa arus banjir bandang memporak porandakan rumah warga. Alam sedang menunjukkan kemarahannya lewat banjir bandang yang membawa gelondongan kayu berukuran sangat besar, bukti nyata bahwa bencana ini disebabkan ulah manusia.. Kondisi ini sebagai dampak dari ekspansi perkebunan sawit yang telah mencapai 2,45 juta hektar, jauh melampai kapasitas lingkungan yang semestinya.
Di balik besarnya dampak dan kerugian tersebut, peristiwa ini mencerminkan lemahnya penegakan hukum terhadap praktik pembalakan hutan yang masif dan tidak terkendali, serta pengawasan yang tidak konsisten dari pihak terkait. Kebijakan pembangunan yang tidak tertata juga menempatkan kelompok rentan di wilayah rawan bencana, sementara harga lahan di daerah yang relatif aman terus melambung tinggi.













