Semarangkita.id – Seni pertunjukkan wayang memiliki ragam jenis. Salah satunya adalah wayang potehi, yang selama ini dikenal sebagai budaya turanan dari Tionghoa dan pernah berjaya di Kota Semarang. Dilansir dari laman warisanbudaya.kemendikbud.go.id, wayang potehi memang bukan kesenian asli Kota Semarang. Meski demikian, keberadaan wayang potehi pernah mengukir sejarah seni pertunjukan di Kota Semarang.
Penasaran dengan wayang potehi yang pernah populer di Semarang? berkikut cerita dibalik kesenian Tionghoa yang memadukan budaya jawa dengan budaya Tionghoa.
Mengenal Wayang Potehi
Kesenian wayang potehi ini dipopulerkan oleh pendatang dari Negeri Tirai Bambu, Tiongkok. Wayang potehi merupakan seni pertunjukan boneka tradisional asal Fujian, Tiongkok Selatan. “Potehi” berasal dari akar kata “pou” (kain), “te” (kantong), dan “hi” (wayang). Secara harfiah bermakna wayang yang berbentuk kantong dari kain –meski beberapa bagiannya terbuat dari kayu. Sekilas, Wayang Potehi ini mirip dengan wayang golek karena menggunakan boneka. Namun pernak-pernik dan properti yang digunakan sangat identik dengan Tionghoa. Begitupun dengan cerita yang disampaikan.
Sebagai informasi, Wayang potehi dibawa imigran asal Tiongkok ke Nusantara sekitar abad ke-16 dan menyebar ke beberapa kota di Pulau Jawa. Wayang potehi bukan hanya sarana hiburan tapi juga memiliki fungsi ritual. Pertunjukan wayang potehi menjadi sarana untuk menyampaikan terima kasih, pujian, dan doa kepada para dewa dan leluhur. Tak heran jika kesenian ini berkembang di sekitar kelenteng, terutama di beberapa kota di pantai utara Jawa.
Menariknya Wayang potehi dimainkan menggunakan kelima jari. Tiga jari tengah mengendalikan kepala, sementara ibu jari dan kelingking mengendalikan tangan wayang. Dalam laporan penelitiannya berjudul “Dari Wayang Potehi ke Wayang Thithi”, Ngesti Lestari menyebut setiap wayang dapat dimainkan untuk berbagai karakter, kecuali Bankong, Udi King, dan Sia Kao Kim yang warna wajahnya tak dapat berubah.
Pementasan dilakukan di sebuah panggung yang disebut pay low dan berwarna merah. Panggung ini berbentuk miniatur rumah yang dibuat permanen atau bongkar-pasang. Untuk memainkan wayang potehi dibutuhkan dua orang, yaitu dalang dan asisten dalang. Dalang bertugas menyampaikan cerita, sedangkan asisten membantu menyiapkan dan menata peralatan pentas seperti wayang, busana, dan senjata serta menampilkan tokoh-tokoh sesuai cerita. Masing-masing dapat memainkan dua wayang. Sebanyak 20-25 wayang bisa digunakan dalam satu kali pementasan.
Musik pengiring dimainkan tiga musisi dengan alat musik seperti gembreng besar (toa loo), rebab (hian na), kayu (piak ko), suling (bien siauw), gembreng kecil (siauw loo), gendang (tong ko), dan selompret (thua jwee). Satu musisi dapat memainkan dua atau tiga alat musik.
Pertunjukan wayang potehi tidak dilakukan semalam suntuk seperti wayang kulit tapi hanya berdurasi 1,5 atau 2 jam. Pertunjukan pun dibawakan secara serial. Bahkan ada kisah yang memerlukan waktu pementasan selama tiga bulan sampai cerita selesai secara keseluruhan.
Beberapa lakon yang biasa dibawakan antara lain Cun Hun Cauw Kok, Hong Kian Cun Ciu, Poe Sie Giok, dan Sie Jin Kwie. Lakon-lakon itu merupakan kisah legenda dan mitos klasik dari daratan Tiongkok dan biasanya dimainkan di kelenteng. Bila wayang potehi pentas di luar kelenteng, diambil cerita-cerita yang populer seperti Sun Go Kong (Kera Sakti)), Sam Pek Eng Tay, Si Jin Kui, atau Pendekar Gunung Liang Siang
Wayang Potehi ini memberikan dampak akulturasi budaya Jawa dengan budaya Tionghoa. Selain bahasa dan dialek yang mengadopsi budaya lokal, akulturasi terjadi pada penggunaan alat musik Jawa seperti bonang, saron, kendang, dan gong. Lagu-lagu Jawa juga sering digunakan sebagai selingan tapi dengan irama musik Tiongkok.
Kesenian wayang potehi menggeliat di tengah semangat kebebasan pada era reformasi. Wayang potehi mulai dipentaskan di berbagai tempat, bahkan merambah ke pusat-pusat perbelanjaan, khususnya saat Tahun Baru Imlek